There is no other place like home….. Home is the place where your heart
belongs….. Tiada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri….. Rumah
adalah tempat dimana hatimu berada.... Dua pepatah tua yang kerap didengar ini
menjadi inti refleksi semua bacaan suci pada Minggu IV masa Prapaska ini.
Berangkat dari pepatah-pepatah ini dan juga bercermin pada pesan-pesan
bacaan suci hari ini kita boleh bertanya, di manakah rumahku yang sebenarnya?
Bacaan Injil mengetengahkan perumpaan tentang kualiatas cinta yang
tercermin dalam perilaku hidup bersama. Penyesalan hati si bungsu lantaran
keputusannya yang salah, lalu membawanya
kembali ke dalam pelukan sang ayah yang tetap dan terus mencitainya apa adanya. Pulangnya si bungsu disambut dengan pesta karena keluarga menjadi utuh kembali. Si ayah, yang tak lain adalah gambaran Allah sendiri, mengajarkan apa artinya cinta, memaafkan. Memberi maaf, berarti
bersedia meninggalkan masa lalu dan mencoba memulai sebuah kehidupan
baru ke depan tanpa harus terpenjara kepada masa lampau seseorang. Sang ayah memilih untuk
memberikan kesempatan baru kepada si bungsu yang menyesali salahnya,
mengakuinya dengan rendah hati dan meminta kesempatan untuk memulai hidup baru.
Kesediaan untuk menerima dan memperlakukan semua secara baik tanpa harus
kembali kepada masa lalu untuk menghukum dan/atau menolak seseorang, tanpa
harus menempatkan diri sebagai yang paling penting dan terhormat lantaran peran
dan sumbanganku yang “lebih” daripada yang lain merupakan landasan yang kokoh
bagi kebersamaan dalam keluarga. Singkatnya, keluarga yang ideal adalah
keluarga yang sanggup menjadi penopang bagi anggotanya yang lagi goyah, yang
terbuka untuk memaafkan dan menerima setiap anggotanya apa adanya, yang
menerima dan menghormati kebebasan setia anggotanya serta bersama merayakan kebersamaan dalam kesetaraan.
Dalam iklim kebersamaan yang ideal, sudah
pasti perayaan kita menjadi semakin bermakna dan punya nilai plus dalam hidup. Kesuksesan
dan keberhasilan dipandang sebagai usaha bersama. Pada saat yang sama kesulitan
dan tantangan hidup dilihat sebagai ajang berbagi dan menguji ketabahan,
kekuatan dan juga solidaritas. Di sini kita bisa bercermin dari bacaan pertama yang mengisahkan
bagaimana umat Israel memaknai pesta Paskah mereka sebagai satu keluarga,
sesaat setelah tiba dan menempati tanah terjanji. Perjalanan keluar dari Mesir
sudah pasti merupakan perjalanan yang panjang, penuh derita dan tantangan. Selama
itu pula, kesediaan, solidaritas, iman, ketabahan dan kebersamaan diuji. Karena
itu, keberhasilan menjajakan kaki di tanah yang dijanjikan oleh
Tuhan menjadi alasan untuk merayakannya sebagai satu keluarga. Kesulitan menjadi
tak berarti, karena semua mereka merasakannya bersama, dan kebersamaan menjadi
lebih bermakna karena semua yang telah lewat dipandang dengan kaca mata iman
yang lalu memberikan makna baru bagi kehidupan. Mesir yang menjadi simbol rasa malu sudah mereka tinggalkan, dan kini mereka memulai hidup yang baru bersama Tuhan, dalam iklim persaudaraan dan kekeluargaan yang kuat.
Dalam konteks kebersamaan inilah, Santu
Paulus dalam bacaan kedua hari ini menegaskan identitas baru kita sebagai
ciptaan yang baru dan juga peran dan tanggung jawab yang melekat erat dengan
identitas itu, yakni sebagai duta Kristus. Dalam Kristus, Allah bersedia
menerima kita apa adanya, tanpa melihat masa lalu hidup kita. Untuk itu, kita
dimotivasi untuk mengarahkan diri kepadaNya, dan berusaha menjadi alatNya dalam
iklim kebersamaan.
Mengakhiri refleksi ini, marilah kita
berefleksi lagi tentang iklim kebersamaan kita dalam keluarga, tentang perilaku
dan tata cara hidup kita sebagai “Duta” Kristus dalam hidup berkeluarga
sehingga kebersamaan kita benar-benar menjadi ajang lakon sebuah pesta
kehidupan, hidup yang penuh makna dan arti. Alah kita mengajari bagaimana memaknai hidup bersama, lewat kesediaan untuk saling menerima dan memaafkan satu sama yang lain.
Allah kita yang penuh cinta, tak pernah berniat untuk menghukum dan apalagi menelantarkan kita. Sebesar apa pun salah kita, Ia selalu menunggu kapan kita akan berbalik padaNya. Dia ingin keluargaNya lengkap dan sempurna. Ia tak ingin salah satu anggota keluargaNya sengsara atau memisahkan diri.
Titik-titik refleksi:
@ There is no other place like home…..Home is where your heart belongs…..where
is my home then? Allah selalu menanti kita.
@ To forgive is to forget….Sanggupkah aku…?
@ Bagaimana saya bisa memaknai hidup saya sebagai “Duta Kristus” yang sejati
dalam konteks kebersamaan?
No comments:
Post a Comment