Friday, February 26, 2016

Hari Minggu Ketiga Masa Puasa 2016: Memahami Kebaikan dan Kebesaran Allah

Saudara dan saudariku yang terkasih dalam Tuhan. Hari ini kita memasuki hari minggu ketiga masa Prapaska. Sepanjang masa Prapaska ini, semua kita diajak untuk mempersiapkan diri secara matang dan pasti untuk merayakan misteri iman terbesar yang dinyatakan Tuhan kepada kita, yakni sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus, Penyelamat kita. Intisari dari semua bacaan yang kita dengar hari ini, menjelaskan kepada kita alasan mengapa kita perlu mempersiapkan diri secara baik dan matang.
“Tuhan itu baik dan penuh kasih, “ demikian Mazmur tanggapan yang kita nyanyikan menjelaskan makna dan tujuan persiapan kita. Tuhan selalu mengambil inisiatif untuk menunjukkan kasih setia dan kebaikanNya kepada kita. Dalam bacaan pertama (Kel. 3, 1 – 8ยช, 13 – 15) kasih dan kebaikan Allah dinyatakan lewat panggilan dan perutusan Musa sebagai perpanjangan tangan Allah, karena Ia mendengar keluh kesah mereka dan memperhatikan penderitaan mereka. Musa adalah jawaban pasti Allah terhadap situasi yang dihadapi saat itu. 
Kebaikan dan kebesaran Tuhan itu pun dijelaskan secara lebih mendalam oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini (Luk. 13, 1 – 9). Dalam bacaan ini, Penginjil mengetengahkan jawaban Yesus kepada mengenai keadilan ilahi dalam hubungannya dengan dosa. Bila dalam pandangan manusiawi yang cenderung melihat penderitaan sebagai akibat langsung dari dosa manusia dalam hubungannya dengan keadilan ilahi, maka Yesus dengan tegas menolak dan merubak konsep kita tersebut. Allah, bukanlah hakim yang dengan begitu gampang menjatuhkan palu vonis yang memberatkan karena dosa yang diperbuat oleh manusia. Allah itu baik dan penuh kasih, penuh kesabaran dan selalu dan terus memberikan kesempatan kepada kita umatNya untuk beralih, dari cara hidup yang salah dan berdosa, kepada jalan hidup yang benar dan membawa berkah. Lewat perumpamaan tentang pohon ara yang tidak jadi ditebang dan masih diberikan kesempatan setahun lagi untuk bisa menghasilkan buah, Yesus menjelaskan kepada kita semua, bahwa Allah yang penuh kebaikan dan kasih itu selalu dan akan tetap memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat, untuk berubah. Allah itu sabar. Dia selalu memberikan kesempatan untuk kita memperbaiki diri. Bila kita tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk bertobat dan memperbaiki diri, dengan sendirinya menunjukkan bahwa kita dengan bebas dan mau memilih untuk menyiksa dan menjatuhkan diri ke dalam penderitaan dan kesulitan. “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian,” demikian Lukas mengutip peringatan Yesus kepada kita. Ini sekaligus menggarisbawahi bahwa kebaikan dan kebesaran hati Allah dalam berelasi dengan kita. Kita selalu diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan juga diberikan kebebasan untuk menentukan arah dan cara hidup kita.
Perihal kebebasan dan berkat yang diberikan Tuhan kepada kita ini dijelaskan oleh Paulus dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus (I Kor. 10, 1 – 6. 10 – 12). Paulus dalam suratnya ini menegaskan kebaikan Tuhan yang sama sekali tidak menginginkan kematian (kesengsaraan) umatNya. Namun kebebasan yang tidak bertanggung jawab lewat perilaku yang kurang terarah dan di luar tatanan hukum dan aturan hidup yang diberikan, dengan sendirinya mengarahkan mereka kepada kebinasaan (kematian). Dengan kata lain, Paulus memperingatkan kita untuk senantiasa hidup dalam koridor hukum, mentaati dan menunjukkan buah karya kita sebagai anak Allah, lewat buah-buah hidup yang berkenan dan menyenangkan hati Allah. Karena pada hakekatnya, dari kita semua Allah selalu menantikan sebuah cara hidup yang autentik, karena semua kita sudah mengerti apa yang harus kita perbuat.

Titik-titik refleksi:
@Allah itu baik dan penuh kasih: Ia mendengarkan semua yang kita sampaikan dan mengundang kita untuk menjadi perpanjangan tanganNya kepada orang lain. 
@Allah bukanlah hakim yang menghukum, tetapi Dia selalu memberikan kesempatan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bukan hanya itu, Ia menunjukkan dan menjelaskan apa yang perlu dibuat.  


Saturday, February 20, 2016

Refleksi Minggu Kedua Prapaska 2016: Dipanggil Untuk Berbagi Seperti Paulus

Tuhan adalah Terang dan Keselamatanku….. Demikian Pemazmur dalam perayaan hari ini bernyanyi dan bermadah dan sekaligus mengundang kita untuk turut bermadah karena karya dan kebaikan Tuhan yang kita alami sepanjang hidup kita. Minggu kedua masa Prapaska ini, kita diundang untuk mengikuti undangan Tuhan dan sekaligus dengan kebebasan penuh kita diajak untuk membuat aliansi, mengikat sebuah tali perjanjian yang teguh dengan Tuhan dan sekaligus meyatakan kesediaan kita untuk selalu mengikuti ke mana kita diarahkan dan diutus. Membaca dan merenungkan semua bacaan pada hari minggu kedua masa puasa tahun ini, ada beberapa pesan yang perlu kita renungkan dan sekaligus kita bawa sebagai pedoman hidup harian kita ke depan.
Bacaan pertama (Kej. 15,5-12.17-18) mengetengahkan kepada kita kisah panggilan Abraham dan juga mengenai janji yang mengikat antara Allah dan Abraham sebagai jaminan aliansi yang erat dan teguh antara Allah dan Abraham. Allah selalu mengambil inisiatif untuk mengundang dan mengajak kita untuk turut berpartisipasi dalam rencanaNya. Undangan Allah kepada kita pun terbersit dalam ajakan Yesus kepada Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk menemaniNya mendaki gunung Tabor, di mana Ia memperlihatkan keagunganNya, dan juga ajakanNya untuk segera turun gunung, setelah Petrus menyatakan niatNya untuk menetap di puncak gunung tersebut (Luk. 9,28-36).
Kedua bacaan ini mengingatkan kita bahwa menempatkan diri sebagai pengikut Kristus, berarti kita harus selalu bersedia mengikuti arah dan jalan yang Tuhan tentukan kepada kita, di mana, akhir tujuan utama kita setelah semua ziarah hidup ini adalah keselamatan, sebagaimana dinyanykan pemazmur. Menempatkan Tuhan sebagai penunjuk jalan kita berarti, kita dengan bebas menyanggupkan diri untuk mengikatkan diri dalam rencana dan kehendak Allah, menekuni jalan dan cara hidup sebagai anak Allah yang autentik, mendengarkan dan mentaati semua yang Ia katakan dan tunjukkan kepada kita. Kebesaran Yesus yang ditunjukkan kepada para muridNya, sekaligus menunjukkan makna kedalaman relasi kita (baca, doa) yang terjalin dengan Tuhan. Kita meyakini bahwa dalam Yesus, kepenuhan hukum (dilambangkan lewat Musa) dan janji (kehadiran Elias) terpenuhi. Bila kita mengatakan Tuhan adalah terang jalan kita, berarti kita bersedia mentaati perintah dan rencana Tuhan dan juga tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan pernah lari atau lalai untuk memenuhi semua rencana kudusNya kepada dan lewat kita. Dan lebih daripada itu, ketaatan kepada Tuhan, mengajak kita untuk tidak bersedia turun gunung, kembali ke dalam realitas hidup kita dan dengan berani dan ceria terus bersaksi tentang kebaikan Tuhan yang sudah kita temui dan alami dalam keintiman dan kedalaman doa kita.

Dalam usaha menghidupi aliansi teguh kita dengan Tuhan inilah, Santu Paulus menempatkan diri sebagai panutan dan contoh hidup yang autentik sebagaimana tertera dalam suratnya kepada umat di Filipi (3,17-4,1). Dengan tegas Paulus mengajak kita untuk menempatkan Kristus sebagai pusat acuan hidup kita dan dengan tegas menolak serta menjauhkan diri dari semua yang sudah pasti menjauhkan kita dari Tuhan. Surat yang penuh muatan emosional ini sekaligus mengungkapkan kesedihan Paulus melihat tingkah laku mereka yang melupakan Tuhan danlatau mengantikan Tuhan dengan kemewahan dan kenikmatan dunia.
Akhirnya, saudara dan saudariku, sekali lagi bernyanyi bersama Pemazmur hari ini, kita ingin terus dan tetap menjadikan Tuhan sebagai pelita jalan kita dan tujuan hidup atau keselamatan kita. Untuk itu, kita selalu diminta untuk dengan penuh kebebasan mengikuti ajakan dan panggilan Tuhan untuk “beralih” (bermisi) dan juga untuk mendekatkan diri secara total kepada Tuhan. Kesediaan untuk beralih dalam misi (mencontohi Abraham) dan juga untuk mendaki gunung untuk berdoa (seperti ketiga rasul) mengharuskan kita untuk bersedia mengikat aliansi kesepakatan dan ketaatan total pada apa yang dikatakan Tuhan kepada kita. Dan dalam semua ini, kita perlu bercermin kepada Paulus, yang dengan rendah hati menempatkan diri sebagai panutan. Pada saat yang sama, kita diajak untuk berhati hati terhadap semua kemungkinan dan kekuatan yang bisa saja menjauhkan kita dari Tuhan danlatau membuat kita melupakan janji kita kepadaNya.
Titik-titik refleksi
@Tuhanlah pelita hidup kita dan jaminan keselamatan kita.
@Tuhan mengajak kita untuk berpartisipasi dalam misi dan doa
@Pengalaman kedekatan kita dengan Tuhan harus membawa kita kembali kepada tujuan keberadaan dan kegiatan kita dalam bermisi

@Paulus, potret seorang murid, missionaris yang sejati

Saturday, February 6, 2016

Renungan Minggu Biasa ke lima Tahun C - 2016: Gnothi Seauton

Gnothi Seauton. Know yourself. Kenalilah diri anda. Demikian ungkapan klasik para filsuf Yunani kuno. Pengenalan diri yang baik pasti akan membawa kita untuk sukses dan berhasil dalam usaha dan juga membuat diri kita lebih tenang dalam menjalani kehidupan kita setiap hari.

Membaca dan merenungi bacaan-bacaan suci pada hari minggu ke lima masa biasa ini, pada hemat saya, dapat kita simpulkan dengan ungkapan klasik para filsuf yunani kuno ini. Kenalilah diri kita. Kesuksesan dan ketenangan hidup seorang murid dan pengikut Tuhan sebenarnya bergantung pada bagaimana kita melihat diri kita dalam kedalaman relasi dengan Tuhan, Guru dan Penyuluh hidup kita.
Dalam usaha untuk memahami siapa diri kita, tiga tokoh utama dalam bacaan-bacaan suci hari ini bisa menjadi contoh untuk ditelaah. Yesaya, Sang Nabi dalam bacaan pertama, mengisahkan bagaimana ia menyadari kerapuhan dan kekotoran dirinya (bermulut kotor) ketika menyaksikan kebesaran dan kemegahan Tuhan lewat penglihatan. Paulus dalam bacaan kedua, menceritakan kepada kita tentang masa lalunya yang suram, namun karena berkat dan rahmat Tuhan, dia menjadi seperti yang sekarang ini, seorang hamba yang terus berusaha untuk mencapai kesempurnaan hidup lewat pengabdian yang total dalam tugas misioner yang diembannya. Lalu, yang terakhir Simon (Petrus) yang menyadari kesombongannya akan keahliannya sebagai nelayan ulung (di hadapan sang guru yang adalah tukang kayu atau anak tukang kayu yang tak memiliki keahlian apa-apa soal urusan jala menjala ikan.
Ketiga bacaan ini dengan sendirinya mengajarkan beberapa hal yang perlu kita sadari sepenuhnya. Pertama, Allah tidak melihat kerapuhan dan kekurangan serta kekotoran kita sebagai manusia karena salah dan dosa kita. Sebaliknya, kesadaran kita yang mendalam akan kerapuhan dan kesalahan kita justeru harus membawa kita untuk mengalami kebesaran rahmat dan kasih sayang Tuhan. Yesaya, karena menyadari kerapuhannya di hadapan kebesaran Tuhan, justeru dibersihkan dan dipulihkan untuk menjadi suci di hadapan Allah. Paulus, setelah melewati proses pemulihan karena berkat dan rahmat Allah, ia dijadikan sebagai seorang missionaris ulung pewarta Sabda Tuhan kepada seluruh dunia. Petrus, karena kesadaran akan kesombongannya dan juga kesediaannya untuk meminta ampun dari Tuhan, membawanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai seorang “penjala manusia”. Ini hanya mau menegaskan kepada kita, bawa Tuhan tidak melihat kekurangan kita, masa lalu kita yang suram dan juga tingkah laku yang yang salah sebagai alasan untuk menghukum, namun sebaliknya Dia mengajak kita untuk mendekatkan diri kepadaNya untuk dipulihkan, dikuatkan dan dikuduskan untuk bermisi, bersaksi tentang kebesaranNya kepada sesama.
Kedua, pengalaman yang mendalam tentang kasih Tuhan, sudah seharusnya membawa kita untuk menyediakan diri dan kesempatan untuk mengabdikan diri secara total untuk bermisi. Bermisi berarti membuka diri dan kemungkinan untuk berpartisipasi secara total dalam karya kerahiman Tuhan. Yesaya, setelah disucikan, menyediakan diri untuk diutus agar bersaksi tentang karya Allah. Paulus, setelah pertobatannya, mengabdikan dirinya seutuhnya untuk karya pewartaaan Sabda. Petrus, setelah peristiwa yang memalukan di hadapan banyak orang, justeru meninggalkan jalanya untuk mengikuti Kristus.
Ketiga, kesuksesan dan ketenangan dalam hidup kita sebagai hamba Allah berangkat dari usaha sadar kita untuk mengenal secara lebih baik siapa diri kita beserta dengan kualitas dan kekurangan kita. Di sini kita diminta untuk tidak menjadi sombong karena kualitas yang kita miliki dan juga mengajak kita untuk menjadi rendah hati, ketika kita menyadari ada yang salah pada kita. Dalam konteks inilah kita bisa bercermin pada diri Simon (Petrus). Sebagai seorang nelayan ulung, dia menolak permintaan Yesus untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk membuang jalanya sekali lagi. Dia secara tidak langsung ingin mengatakan, bahwa Yesus, sebagai seorang (anak) tukang kayu tak tahu menahu tentang seluk beluk menjala ikan. Tiba-tiba dia menjadi sombong, membantah permintaan Yesus karena ia merasa diri lebih tahu soal waktu yang tepat untuk menjala ikan  (malam) dan juga sudah putus asa karena tak mendapatkan seekorpun setelah semalam suntuk bekerja. Namun Petrus salah. Hasil tangkapan justeru banyak. Petrus menjadi malu sendiri. Sang Guru yang menyuruhnya adalah Tuhan. Dia lalu meminta maaf.  Dia seharusnya langsung berbuat tanpa harus bereaksi secara berlebihan seperti tadi. Namun dia bersikap sportif, rela mengakui kesalahan dan kekurangannya. Dan karena sikap seperti inilah dia dianggap layak untuk menjadi pengikutNya untuk lalu dijadikan ‘penjala manusia’.
Titik-titik refleksi:
@Tuhan tidak melihat kekurangan, salah dan masa lalu kita.
@Gnothi seauton, kenalilah diri kita di hadapan Tuhan.
@Kita baru bisa mengenal siapa kita, kalau kita bersedia untuk bertolak lebih ke dalam lagi dalam kehidupan (mengikuti apa yang Tuhan minta)
@Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan harus membawa kita untuk bersedia menjadi ‘missionarisNya’.