Saturday, February 6, 2016

Renungan Minggu Biasa ke lima Tahun C - 2016: Gnothi Seauton

Gnothi Seauton. Know yourself. Kenalilah diri anda. Demikian ungkapan klasik para filsuf Yunani kuno. Pengenalan diri yang baik pasti akan membawa kita untuk sukses dan berhasil dalam usaha dan juga membuat diri kita lebih tenang dalam menjalani kehidupan kita setiap hari.

Membaca dan merenungi bacaan-bacaan suci pada hari minggu ke lima masa biasa ini, pada hemat saya, dapat kita simpulkan dengan ungkapan klasik para filsuf yunani kuno ini. Kenalilah diri kita. Kesuksesan dan ketenangan hidup seorang murid dan pengikut Tuhan sebenarnya bergantung pada bagaimana kita melihat diri kita dalam kedalaman relasi dengan Tuhan, Guru dan Penyuluh hidup kita.
Dalam usaha untuk memahami siapa diri kita, tiga tokoh utama dalam bacaan-bacaan suci hari ini bisa menjadi contoh untuk ditelaah. Yesaya, Sang Nabi dalam bacaan pertama, mengisahkan bagaimana ia menyadari kerapuhan dan kekotoran dirinya (bermulut kotor) ketika menyaksikan kebesaran dan kemegahan Tuhan lewat penglihatan. Paulus dalam bacaan kedua, menceritakan kepada kita tentang masa lalunya yang suram, namun karena berkat dan rahmat Tuhan, dia menjadi seperti yang sekarang ini, seorang hamba yang terus berusaha untuk mencapai kesempurnaan hidup lewat pengabdian yang total dalam tugas misioner yang diembannya. Lalu, yang terakhir Simon (Petrus) yang menyadari kesombongannya akan keahliannya sebagai nelayan ulung (di hadapan sang guru yang adalah tukang kayu atau anak tukang kayu yang tak memiliki keahlian apa-apa soal urusan jala menjala ikan.
Ketiga bacaan ini dengan sendirinya mengajarkan beberapa hal yang perlu kita sadari sepenuhnya. Pertama, Allah tidak melihat kerapuhan dan kekurangan serta kekotoran kita sebagai manusia karena salah dan dosa kita. Sebaliknya, kesadaran kita yang mendalam akan kerapuhan dan kesalahan kita justeru harus membawa kita untuk mengalami kebesaran rahmat dan kasih sayang Tuhan. Yesaya, karena menyadari kerapuhannya di hadapan kebesaran Tuhan, justeru dibersihkan dan dipulihkan untuk menjadi suci di hadapan Allah. Paulus, setelah melewati proses pemulihan karena berkat dan rahmat Allah, ia dijadikan sebagai seorang missionaris ulung pewarta Sabda Tuhan kepada seluruh dunia. Petrus, karena kesadaran akan kesombongannya dan juga kesediaannya untuk meminta ampun dari Tuhan, membawanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai seorang “penjala manusia”. Ini hanya mau menegaskan kepada kita, bawa Tuhan tidak melihat kekurangan kita, masa lalu kita yang suram dan juga tingkah laku yang yang salah sebagai alasan untuk menghukum, namun sebaliknya Dia mengajak kita untuk mendekatkan diri kepadaNya untuk dipulihkan, dikuatkan dan dikuduskan untuk bermisi, bersaksi tentang kebesaranNya kepada sesama.
Kedua, pengalaman yang mendalam tentang kasih Tuhan, sudah seharusnya membawa kita untuk menyediakan diri dan kesempatan untuk mengabdikan diri secara total untuk bermisi. Bermisi berarti membuka diri dan kemungkinan untuk berpartisipasi secara total dalam karya kerahiman Tuhan. Yesaya, setelah disucikan, menyediakan diri untuk diutus agar bersaksi tentang karya Allah. Paulus, setelah pertobatannya, mengabdikan dirinya seutuhnya untuk karya pewartaaan Sabda. Petrus, setelah peristiwa yang memalukan di hadapan banyak orang, justeru meninggalkan jalanya untuk mengikuti Kristus.
Ketiga, kesuksesan dan ketenangan dalam hidup kita sebagai hamba Allah berangkat dari usaha sadar kita untuk mengenal secara lebih baik siapa diri kita beserta dengan kualitas dan kekurangan kita. Di sini kita diminta untuk tidak menjadi sombong karena kualitas yang kita miliki dan juga mengajak kita untuk menjadi rendah hati, ketika kita menyadari ada yang salah pada kita. Dalam konteks inilah kita bisa bercermin pada diri Simon (Petrus). Sebagai seorang nelayan ulung, dia menolak permintaan Yesus untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk membuang jalanya sekali lagi. Dia secara tidak langsung ingin mengatakan, bahwa Yesus, sebagai seorang (anak) tukang kayu tak tahu menahu tentang seluk beluk menjala ikan. Tiba-tiba dia menjadi sombong, membantah permintaan Yesus karena ia merasa diri lebih tahu soal waktu yang tepat untuk menjala ikan  (malam) dan juga sudah putus asa karena tak mendapatkan seekorpun setelah semalam suntuk bekerja. Namun Petrus salah. Hasil tangkapan justeru banyak. Petrus menjadi malu sendiri. Sang Guru yang menyuruhnya adalah Tuhan. Dia lalu meminta maaf.  Dia seharusnya langsung berbuat tanpa harus bereaksi secara berlebihan seperti tadi. Namun dia bersikap sportif, rela mengakui kesalahan dan kekurangannya. Dan karena sikap seperti inilah dia dianggap layak untuk menjadi pengikutNya untuk lalu dijadikan ‘penjala manusia’.
Titik-titik refleksi:
@Tuhan tidak melihat kekurangan, salah dan masa lalu kita.
@Gnothi seauton, kenalilah diri kita di hadapan Tuhan.
@Kita baru bisa mengenal siapa kita, kalau kita bersedia untuk bertolak lebih ke dalam lagi dalam kehidupan (mengikuti apa yang Tuhan minta)
@Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan harus membawa kita untuk bersedia menjadi ‘missionarisNya’.


No comments:

Post a Comment