Gnothi Seauton. Know yourself. Kenalilah diri anda. Demikian
ungkapan klasik para filsuf Yunani kuno. Pengenalan diri yang baik pasti akan membawa kita untuk sukses dan berhasil dalam usaha dan juga membuat diri kita lebih tenang dalam menjalani kehidupan kita setiap hari.
Membaca dan merenungi bacaan-bacaan suci pada hari minggu ke
lima masa biasa ini, pada hemat saya, dapat kita simpulkan dengan ungkapan
klasik para filsuf yunani kuno ini. Kenalilah diri kita. Kesuksesan dan
ketenangan hidup seorang murid dan pengikut Tuhan sebenarnya bergantung pada
bagaimana kita melihat diri kita dalam kedalaman relasi dengan Tuhan, Guru dan
Penyuluh hidup kita.
Dalam usaha untuk memahami siapa diri kita, tiga tokoh
utama dalam bacaan-bacaan suci hari ini bisa menjadi contoh untuk ditelaah.
Yesaya, Sang Nabi dalam bacaan pertama, mengisahkan bagaimana ia menyadari
kerapuhan dan kekotoran dirinya (bermulut kotor) ketika menyaksikan kebesaran
dan kemegahan Tuhan lewat penglihatan. Paulus dalam bacaan kedua, menceritakan
kepada kita tentang masa lalunya yang suram, namun karena berkat dan rahmat
Tuhan, dia menjadi seperti yang sekarang ini, seorang hamba yang terus berusaha
untuk mencapai kesempurnaan hidup lewat pengabdian yang total dalam tugas
misioner yang diembannya. Lalu, yang terakhir Simon (Petrus) yang menyadari
kesombongannya akan keahliannya sebagai nelayan ulung (di hadapan sang guru
yang adalah tukang kayu atau anak tukang kayu yang tak memiliki keahlian
apa-apa soal urusan jala menjala ikan.
Ketiga bacaan ini dengan sendirinya mengajarkan beberapa hal
yang perlu kita sadari sepenuhnya. Pertama, Allah tidak melihat kerapuhan dan
kekurangan serta kekotoran kita sebagai manusia karena salah dan dosa kita.
Sebaliknya, kesadaran kita yang mendalam akan kerapuhan dan kesalahan kita
justeru harus membawa kita untuk mengalami kebesaran rahmat dan kasih sayang
Tuhan. Yesaya, karena menyadari kerapuhannya di hadapan kebesaran Tuhan,
justeru dibersihkan dan dipulihkan untuk menjadi suci di hadapan Allah. Paulus,
setelah melewati proses pemulihan karena berkat dan rahmat Allah, ia dijadikan
sebagai seorang missionaris ulung pewarta Sabda Tuhan kepada seluruh dunia.
Petrus, karena kesadaran akan kesombongannya dan juga kesediaannya untuk
meminta ampun dari Tuhan, membawanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai
seorang “penjala manusia”. Ini hanya mau menegaskan kepada kita, bawa Tuhan
tidak melihat kekurangan kita, masa lalu kita yang suram dan juga tingkah laku
yang yang salah sebagai alasan untuk menghukum, namun sebaliknya Dia mengajak
kita untuk mendekatkan diri kepadaNya untuk dipulihkan, dikuatkan dan
dikuduskan untuk bermisi, bersaksi tentang kebesaranNya kepada sesama.
Kedua, pengalaman yang mendalam tentang kasih Tuhan, sudah
seharusnya membawa kita untuk menyediakan diri dan kesempatan untuk mengabdikan
diri secara total untuk bermisi. Bermisi berarti membuka diri dan kemungkinan
untuk berpartisipasi secara total dalam karya kerahiman Tuhan. Yesaya, setelah
disucikan, menyediakan diri untuk diutus agar bersaksi tentang karya Allah.
Paulus, setelah pertobatannya, mengabdikan dirinya seutuhnya untuk karya
pewartaaan Sabda. Petrus, setelah peristiwa yang memalukan di hadapan banyak
orang, justeru meninggalkan jalanya untuk mengikuti Kristus.
Ketiga, kesuksesan dan ketenangan dalam hidup kita sebagai
hamba Allah berangkat dari usaha sadar kita untuk mengenal secara lebih baik
siapa diri kita beserta dengan kualitas dan kekurangan kita. Di sini kita
diminta untuk tidak menjadi sombong karena kualitas yang kita miliki dan juga
mengajak kita untuk menjadi rendah hati, ketika kita menyadari ada yang salah
pada kita. Dalam konteks inilah kita bisa bercermin pada diri Simon (Petrus).
Sebagai seorang nelayan ulung, dia menolak permintaan Yesus untuk bertolak ke
tempat yang lebih dalam untuk membuang jalanya sekali lagi. Dia secara tidak
langsung ingin mengatakan, bahwa Yesus, sebagai seorang (anak) tukang kayu tak
tahu menahu tentang seluk beluk menjala ikan. Tiba-tiba dia menjadi sombong,
membantah permintaan Yesus karena ia merasa diri lebih tahu soal waktu yang
tepat untuk menjala ikan (malam) dan
juga sudah putus asa karena tak mendapatkan seekorpun setelah semalam suntuk
bekerja. Namun Petrus salah. Hasil tangkapan justeru banyak. Petrus menjadi
malu sendiri. Sang Guru yang menyuruhnya adalah Tuhan. Dia lalu meminta maaf. Dia seharusnya langsung berbuat tanpa harus
bereaksi secara berlebihan seperti tadi. Namun dia bersikap sportif, rela
mengakui kesalahan dan kekurangannya. Dan karena sikap seperti inilah dia
dianggap layak untuk menjadi pengikutNya untuk lalu dijadikan ‘penjala manusia’.
Titik-titik refleksi:
@Tuhan tidak melihat kekurangan, salah dan masa lalu kita.
@Gnothi seauton, kenalilah diri kita di hadapan Tuhan.
@Kita baru bisa mengenal siapa kita, kalau kita bersedia
untuk bertolak lebih ke dalam lagi dalam kehidupan (mengikuti apa yang Tuhan
minta)
@Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan harus membawa kita untuk
bersedia menjadi ‘missionarisNya’.
No comments:
Post a Comment