Saturday, April 13, 2013

Minggu III Paska: Memaknai Cinta....


Saudaraku, minggu yang  lalu kita berefleksi tentang indahnya kebersamaan yang dibangun atas landasan saling percaya. Menindaklanjuti refleksi ini, masih dalam tataran hidup bersama itu, bacaan-bacaan yang kita dengar hari ini mengundang kita untuk memperdalam komitmen iman kita yang nyata, yang terjelma dalam ungkapan kasih kita yang tulus kepada Tuhan lewat sesama.
Saya ingin membagikan refleksi saya hari ini berangkat dari bacaan Injilnya. Bacaan ini mengetengahkan dua situasi yang cukup menarik. Situasi pertama  menggambarkan keraguan, kesedihan dan rasa kurang nyaman dengan hidup yang lalu membuat Petrus dan para murid lainnya mengambil sebuah keputusan drastis, kembali ke kehidupan mereka yang dulu sebagai penjala ikan. Ketidakhadiran Yesus membuat mereka merasa sangat sepi dan tak bergairah.
Situasi Petrus dan kawan-kawan ini menggambarkan realitas hidup harian kita sendiri. Kadang kita merasa sendirian, ditinggalkan dan kehilangan gairah lantaran persoalan yang tak kita pahami, kesulitan yang terus mendera dan penderitaan yang tak ingin kita pikul. Dalam situasi seperti ini, kita diingatkan oleh Tuhan dalam bacaan Injil hari ini bahwa Ia tak pernah akan meninggalkan kita sendirian. Ia selalu ada dan bersama-sama dengan kita. BersamaNya, semua pasti akan beres. Yang sangat dibutuhkan di sini hanyalah, kesediaan untuk mengikuti dan juga kesetiaan untuk melaksanakan semua yang Tuhan kehendaki dari kita.
Situasi kedua diketengahkan Penginjil mengenai dialog yang intens antara Yesus dan Petrus sesaat setelah perjamuan bersama. Yesus menanyakan kepada Petrus mengenai arti cinta dan kewajiban yang terbersit di balik kata itu. Sebanyak tiga kali Yesus melontarkan pertanyaan itu dan memberiksan sebuah pesan moral yang sangat penting, tidak sekedar mengumbar cinta lewat kata-kata, namun membuktikannya lewat cara hidup.  
Cinta....ini tema yang menarik dan juga menantang. Sebuah petuah indah kiranya mengingatkan kita tentang tanggung jawab kita mengenai cinta itu sendiri. Dibutuhkan hanya beberapa detik untuk mengatakan, I Love you, 5 menit untuk menjelaskan mengapa I love you, 10 menit untuk meyakinkan dia tentang ketulusan I love you itu, namun, dibutuhkan seluruh hidup untuk membuktikan itu…
Percakapan antara Petrus dan Yesus ini mengingatkan kita bahwa cinta itu tak sebatas janji muluk belaka. Ia harus dibuktikan dalam hidup nyata. Cinta yang dimaksudkan oleh Yesus adalah cinta yang benar-benar tulus, yang rela membaktikan diri bagi kepentingan cinta itu sendiri. Cinta ini adalah yang mengabdi kepada sesama dan Tuhan secara total tanpa pamrih, yang menjadikan Yesus sebagai contoh dan teladan cinta itu sendiri. “Tiada cinta yang lebih besar dan lebih indah daripada cinta seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabatnya” Dia memberi contoh, kita diharapkan untuk mengikuti jejakNya.
Dalam hal ini, bacaan pertama menyuguhkan kepada kita tentang bagaimana cinta Petrus dan kawan-kawanNya diwujudkan dan dihidupi dalam sebuah situasi nyata. Dalam usahanya untuk membungkam Petrus dan kawan-kawannya, para penguasa menggunakan berbagai macam cara. Namun semua ini tak mempan. Petrus dengan berani mewartakan kebenaran imannya tanpa merasa takut akan konsekuensi berat yang akan menimpanya. Mereka malah menjadi bahagia, bisa melaksanakan tugas pewartaan tersebut karena sudah merupakan komitmen yang mereka pilih dan pegang. Dengan cara ini mereka menghidupi secara nyata apa yang ditulis oleh Yohanes dalam penglihatannya, sebagaimana digambarkan dalam bacaan kedua. Hanya kepada Allah-lah mereka semua berbakti dan mengabdikan diri, menunjukkan cinta tulusnya lewat karya dan cara hidup.

Titik-titik refleksi....

@ Indah dan tenangnya hidup bersama Tuhan. Dia tak pernah meninggalkan kita sendirian
@ Do you love me? Don't tell me....Show me.....


Friday, April 5, 2013

Minggu II Paska: Indahnya Kebersamaan


Kebersamaan itu indah, apabila dibangun atas dasar yang kokoh: saling percaya....

Saudara dan saudariku yang terkasih. Hari ini kita merayakan Minggu II Paskah, pesta kemenangan Kristus atas dosa dan maut. Kisah kebangkitan Kristus di satu pihak menjadi landasan kebahagiaan dan ketenangan bagi mereka yang percaya, namun bagi mereka yang ragu, kisah ini justeru mendatangkan banyak tanda tanya sekaligus usaha untuk membuktikan kebenarannya. Dalam konteks inilah, bacaan-bacaan suci di hari Kerahiman ini mengajak kita untuk bercermin pada kisah yang disajikan dan berusaha memperbaiki diri agar bisa memperkokoh kebersamaan. Dengan kata lain, bacaan-bacaan suci hari ini memberikan resep bagaimana memperkokoh kebersamaan kita sebagai satu keluarga....
Dalam bacaan I yang dikisahkan Lukas mengetengahkan bagaimana iman dan kepercayaan bertumbuh dalam diri sekian banyak orang karena pewartaan para murid yang diperteguh dengan mujizad yang mereka lakukan atas nama Yesus, Dia yang sudah disalibkan namun bangkit dari maut. Para murid berani mewartakan kebenaran yang mereka imani, meninggalkan rasa takut dan bimbang karena karya-karya Tuhan yang mereka alami saat itu. Dan sebagai respons, umat terus saja menanamkan rasa percaya mereka kepada Tuhan dengan bergabung dalam kebersamaan bersama para rasul.
Mengenai karya pewartaan ini, Yohanes dalam bacaan II dari Kitab Wahyu mengetengahkan penglihatannya, di mana ia diminta untuk menuliskan semua yang disaksikannya sebagai satu bentuk pewartaan kepada orang lain. Kesaksian Yohanes ini bisa dilihat sebagai sumber penguatan bagi mereka yang lain terutama dalam situasi sulit yang dialami oleh kelompok pengikut Kristus pada saat itu sebagaimana dikatakan Yohanes pada awal bacaan kedua ini.
Kesulitan yang dihadapi dan dijalani komunitas pengikut Kristus ini dijelaskan lebih mendetail dalam bacaan Injil hari ini. Selain konflik internal yang mereka alami, lantaran ketidakpercayaan di antara mereka sendiri, mereka juga takut akan tekanan politis dari pihak yang berkuasa berkaitan dengan peristiwa penyaliban Yesus. Contoh nyata tentang konflik internal ini adalah Thomas yang menuntut sebuah bukti konkret ketika diberitahukan mengenai kebangkitan Yesus. Konflik internal dan ketakutan ini membuat mereka menjadi tidak merasa damai.
Dalam ketidatenangan, ketakutan dan keributan internal inilah, Yesus menyapa mereka dengan Salam DamaiNya, “Damai Sertamu...” Dengan Salam ini Yesus ingin mengatakan kepada mereka untuk saling mendengarkan, saling menguatkan dan saling percaya. Kebersamaan akan menjadi semakin rapuh bila tidak ada rasa saling percaya antar sesama anggota. Kekuatan akan menjadi semakin melemah bila setiap anggotanya ‘menghilang’ atau menuntut ini dan itu hanya untuk sekedar memenuhi keinginan pribadinya. 
Kepribadian dan tuntutan Thomas untuk bisa mendapatkan bukti nyata tentang kebangkitan Yesus ini justeru bertentangan dengan apa yang dikisahkan dalam bacaan I. Banyak orang menjadi percaya akan Yesus karena kesaksian dari banyak orang dan terutama pewartaan para rasul, Thomas, yang nota bene adalah rasul, malah masih meragukan kebenaran kisah kebangkitan Kristus dan malah menuntut sebuah bukti nyata untuk meyakinkan dia. Ini hanya menunjukkan kepada kita, bagaimana situasi nyata kadang begitu gampang merobohkan tiang-tiang kokoh penyanggah iman kita dan lebih dari itu membawa kita kepada sikap skeptis dan menuntut bukti dari Tuhan. Namun, sikap yang ditunjukkan Yesus dalam kisah Injil hari ini mengatakan satu pesan yang menarik, dalam kaitannya dengan Iman kepada Tuhan, dibutuhkan penyerahan yang total, kesediaan untuk menerima yang tidak bisa dimengerti dengan akal kita serta kebersamaan yang kokoh yang tercermin dalam kedamaian hati. Dalam Tuhan, semua perbedaan dihapuskan, ketenangan menjadi tercipta dan dengan ini, pewartaan kita menjadi lebih bermakna. Dengan kata lain, Kita semua, lewat cara hidup dan kebersamaan yang kita bina, kita sudah menjadi panutan dan dengan sendirinya ini menjadi salah satu bentuk pewartaan yang autentik dan berarti.
Memang, kebersamaan itu indah, apabila dibangun di atas dasar saling percaya...Tuhan ada di antara kita. Untuk itu, jangan kita menjadi batu sandungan dalam karya pewartaan gereja, hanya karena minat, keinginan dan kecenderungan pribadi kita. Sebaliknya, setiap kita harus menjadi inspirasi, bantuan dan sandaran bagi mereka yang lain terutama dalam menghadapi tantangan hidup yang tidaklah gampang ini.  


Saturday, March 16, 2013

Minggu V Pra-paskah: To Forgive is to Forget...(Sebuah tantangan dalam kehidupan bersama)


To forgive is to forget…. Petuah bijak pepatah ini dengan sendirinya menjadi sebuah tantangan yang sangat menarik untuk direfleksikan agar dimengerti dengan baik sebelum memaknainya dalam hidup harian. Hari-hari menjelang Pesta Paskah, banyak yang memanfaatkan Sakramen Pengakuan untuk berdamai dengan Tuhan, diri dan sesama demi sebuah perayaan Paskah yang tenang dan damai. Semua ingin bangkit bersama Kristus dan meninggalkan semua yang salah dan dosa demi sebuah kehidupan baru yang lebih berarti.
Dalam semangat pembaharuan inilah, bacaan-bacaan suci di hari minggu V masa Pra-paskah ini mengajak kita semua untuk memahami dan mendalami arti kebaikan, kesabaran dan cinta Tuhan kepada kita. Penginjil Yohanes dalam bacaan Injil mengetengahkan sebuah kisah yang menarik untuk kita refleksikan bersama, terutama mengenai kualitas kebersamaan kita setiap hari.  Yesus dengan caranya yang khas, berusaha menyadarkan orang-orang yang ingin sekali bermain hakim sendiri, hanya untuk memuaskan egonya yang berlebihan yang juga dimotivasi oleh keinginan yang kuat untuk mencobai dan mengetahui reaksi Yesus dengan situasi yang ada. Yesus lewat pernyataanNya yang menusuk meruntuhkan ego masyarakat dengan menunjukkan satu fakta yang tak bisa dielakkan. “Siapa yang tidak mempunyai dosa, hendaklah menjadi orang yang pertama pertama melempari wanita itu.” Sebuah jawaban bijak yang langsung mematikan. Semua menjadi sadar, sadar akan kesombongannya sendiri. Mereka lalu berbalik dan melihat ke kedalaman hatinya, dan tahu sekarang, bahwa mereka pun adalah pendosa. Kesadaran ini membuat semua menjadi malu dan lalu mundur dengan teratur sambil terus mendalami perkataan Yesus. Lalu kepada wanita yang lemah dan tertunduk malu karena situasinya, Yesus mengutusnya pergi dengan pesan yang sangat bermakna, “Aku pun tak menghukummu, pergilah, dan jangan berdosa lagi.” Ini sebuah tugas perutusan, yang di satu pihak menandai harapan Tuhan akan sebuah kehidupan baru yang akan dimulai oleh sang wanita, juga menunjukkan dengan tegas, bagaimana Tuhan bereaksi dan berinteraksi dengan kita. Dosa bukanlah akhir segalanya. Dosa  dan bukanlah alasan untuk mendapatkan sebuah hukuman. Dosa dan salah bagi Tuhan, merupakan titik awal untuk mengungkapkan kasih dan menyatakan kebaikanNya. Sikap tegasnya kepada orang-orang yang gatal tangannya untuk segera menghukum, dan juga kelembutan hatiNya kepada pendosa yang remuk redam hatinya adalah bukti nyata tentang ini. Dia justeru mengajak kita untuk selalu bercermin padaNya dan mencernai kualitas kebersamaan kita. Hendaklah semua situasi yang kita hadapi menjadi ajang untuk melihat dan memperbaiki diri. Memperbaiki diri demi menjamin kebersamaan. Salah orang sudah pasti harus kita koreksi, tetapi mengoreksinya bukannya untuk menjatuhkan atau meruntuhkan kredibilitasnya, tapi demi menjamin kebaikan bersama.
Tindakan Yesus dalam kisah dramatis ini, dengan sendirinya menjelaskan apa yang dikatakan oleh Yesaya dalam bacaan I hari ini. Allah kita bukanlah Allah yang terus menggali dan memegang perilaku kita di sama lalu dan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan memperlakukan kita. Allah kita bukanlah Allah yang melihat dosa kita sebagai alasan untuk menghukum. Sebaliknya, Ia terus menunjukkan kelembutan hatiNya, menuntun kita pada jalan yang benar dan mengajak kita untuk menghidupi sebuah kehidupan yang layak sebagai anak-anakNya.
Ajakan untuk hidup layak ini lalu dijabarkan lebih lanjut oleh Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi dalam bacaan II. Di sini Paulus mengetengahkan pengalaman dan refleksinya mengenai arti hidupnya sebagai hamba Tuhan dalam kaitannya dengan cara hidup dan pemikirannya. Baginya, Kristus adalah segalanya. Karena Kristus, dia rela meninggalkan semua yang lain dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada apa yang Kristus inginkan. Dia tidak melihat diri sebagai yang sempurna, tetapi justeru melihat semua kekurangannya sebagai sebuah alasan untuk terus dan tetap berusaha demi mencapai kesempurnaan hidup sebagai hamba Tuhan.
Mengakhiri refleksi ini, bacaan-bacaan suci ini mengajak kita untuk memahami arti kasih Tuhan kepada kita dan sekalian mengajak kita untuk menghidupi kasih itu dalam kebersamaa kita sebagai sama saudara dan saudari. Mari kita belajar memaafkan dan mengampuni, meninggalkan masa lalu yang suram, demi sebuah kebersamaan yang lebih baik sekarang dan seterusnya. Dengan ini, kita bisa menciptakan sebuah iklim kebersamaan yang ideal, saling menerima dan mendukung, saling menjaga dan mengoreksi…Mari saling memaafkan........

Titik-titik refleksi:

@ To forgive is to forget…..Sanggupkah aku….?
@ Allah tidak pernah menjadikan masa lalu kita sebagai patokan dalam berelasi dengan kita. Mari kita kembali berdamai denganNya. Jangan terpenjara dengan masa lalu. “Aku pun tidak menghukummu. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.”
@ Resep hidup bersama: tinggalkan semua yang menjauhkan kita dari Kristus dan mari kita berusaha bersama, bahu membahu, untuk mencapai kesempurnaan hidup: iklim kebersamaan yang ideal di antara kita. 

Tuesday, March 5, 2013

Minggu IV Prapaskah: Memaknai Maaf (dan Cinta) dalam Konteks Kebersamaan



There is no other place like home….. Home is the place where your heart belongs….. Tiada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri….. Rumah adalah tempat dimana hatimu berada.... Dua pepatah tua yang kerap didengar ini menjadi inti refleksi semua bacaan suci pada Minggu IV masa Prapaska ini.
Berangkat dari pepatah-pepatah ini dan juga bercermin pada pesan-pesan bacaan suci hari ini kita boleh bertanya, di manakah rumahku yang sebenarnya?
Bacaan Injil mengetengahkan perumpaan tentang kualiatas cinta yang tercermin dalam perilaku hidup bersama. Penyesalan hati si bungsu lantaran keputusannya yang salah, lalu  membawanya kembali ke dalam pelukan sang ayah yang tetap dan terus mencitainya apa adanya. Pulangnya si bungsu disambut dengan pesta karena  keluarga menjadi utuh kembali. Si ayah, yang tak lain adalah gambaran Allah sendiri, mengajarkan apa artinya cinta, memaafkan. Memberi maaf, berarti bersedia meninggalkan masa lalu dan mencoba memulai sebuah kehidupan baru ke depan tanpa harus terpenjara kepada masa lampau seseorang. Sang ayah memilih untuk memberikan kesempatan baru kepada si bungsu yang menyesali salahnya, mengakuinya dengan rendah hati dan meminta kesempatan untuk memulai hidup baru. Kesediaan untuk menerima dan memperlakukan semua secara baik tanpa harus kembali kepada masa lalu untuk menghukum dan/atau menolak seseorang, tanpa harus menempatkan diri sebagai yang paling penting dan terhormat lantaran peran dan sumbanganku yang “lebih” daripada yang lain merupakan landasan yang kokoh bagi kebersamaan dalam keluarga. Singkatnya, keluarga yang ideal adalah keluarga yang sanggup menjadi penopang bagi anggotanya yang lagi goyah, yang terbuka untuk memaafkan dan menerima setiap anggotanya apa adanya, yang menerima dan menghormati kebebasan setia anggotanya serta bersama merayakan kebersamaan dalam kesetaraan.
Dalam iklim kebersamaan yang ideal, sudah pasti perayaan kita menjadi semakin bermakna dan punya nilai plus dalam hidup. Kesuksesan dan keberhasilan dipandang sebagai usaha bersama. Pada saat yang sama kesulitan dan tantangan hidup dilihat sebagai ajang berbagi dan menguji ketabahan, kekuatan dan juga solidaritas. Di sini kita bisa bercermin dari bacaan pertama yang mengisahkan bagaimana umat Israel memaknai pesta Paskah mereka sebagai satu keluarga, sesaat setelah tiba dan menempati tanah terjanji. Perjalanan keluar dari Mesir sudah pasti merupakan perjalanan yang panjang, penuh derita dan tantangan. Selama itu pula, kesediaan, solidaritas, iman, ketabahan dan kebersamaan diuji. Karena itu, keberhasilan menjajakan kaki di tanah yang dijanjikan oleh Tuhan menjadi alasan untuk merayakannya sebagai satu keluarga. Kesulitan menjadi tak berarti, karena semua mereka merasakannya bersama, dan kebersamaan menjadi lebih bermakna karena semua yang telah lewat dipandang dengan kaca mata iman yang lalu memberikan makna baru bagi kehidupan. Mesir yang menjadi simbol rasa malu sudah mereka tinggalkan, dan kini mereka memulai hidup yang baru bersama Tuhan, dalam iklim persaudaraan dan kekeluargaan yang kuat. 
Dalam konteks kebersamaan inilah, Santu Paulus dalam bacaan kedua hari ini menegaskan identitas baru kita sebagai ciptaan yang baru dan juga peran dan tanggung jawab yang melekat erat dengan identitas itu, yakni sebagai duta Kristus. Dalam Kristus, Allah bersedia menerima kita apa adanya, tanpa melihat masa lalu hidup kita. Untuk itu, kita dimotivasi untuk mengarahkan diri kepadaNya, dan berusaha menjadi alatNya dalam iklim kebersamaan.
Mengakhiri refleksi ini, marilah kita berefleksi lagi tentang iklim kebersamaan kita dalam keluarga, tentang perilaku dan tata cara hidup kita sebagai “Duta” Kristus dalam hidup berkeluarga sehingga kebersamaan kita benar-benar menjadi ajang lakon sebuah pesta kehidupan, hidup yang penuh makna dan arti. Alah kita mengajari bagaimana memaknai hidup bersama, lewat kesediaan untuk saling menerima dan memaafkan satu sama yang lain. 
Allah kita yang penuh cinta, tak pernah berniat untuk menghukum dan apalagi menelantarkan kita. Sebesar apa pun salah kita, Ia selalu menunggu kapan kita akan berbalik padaNya. Dia ingin keluargaNya lengkap dan sempurna. Ia tak ingin salah satu anggota keluargaNya sengsara atau memisahkan diri. 

Titik-titik refleksi:
@ There is no other place like home…..Home is where your heart belongs…..where is my home then? Allah selalu menanti kita.
@ To forgive is to forget….Sanggupkah aku…?
@ Bagaimana saya bisa memaknai hidup saya sebagai “Duta Kristus” yang sejati dalam konteks kebersamaan?

Saturday, March 2, 2013

Minggu III Prapaska: Allah yang Peduli


Memasuki minggu ketiga masa Prapaska, bacaan-bacaan suci yang diketengahkan mengingatkan kita akan Allah kita yang peduli akan kita dan bagaimana Allah bekerja untuk mengeluarkan kita dari situasi tersebut.
Kepedulian Allah itu secara jelas diceritakan dalam bacaan pertama  mengenai pengalaman Moses, yang juga merupakan awal keterlibatannya dengan proses pembebasan umat Israel dari kungkungan penguasa Mesir.  Allah menyatakan kepada Moses secara jelas bahwa Ia mendengar keluh dan kesah serta melihat penderitaan umatNya. Saatnya semua ini diakhiri. Untuk itulah Moses diminta untuk terlibat dalam proses pembebasan ini.  Keterlibatan Moses dalam proses ini menjelaskan kepada kita satu kenyataan yang sangat mendasar, proyek keselataman Allah itu membutuhkan partisipasi aktif kita. Moses diminta untuk menjadi perantara yang membawakan ketenangan, kedamaian dan pesan yang membebaskan kepada umatNya.
Kepedulian Allah akan pengalaman dan kesulitan umatNya ini pun dijelaskan dengan cara yang lain lewat penjelasan Yesus mengenai kesabaran Allah dalam berhadapan dengan kita dan pentingnya memperbaiki kualitas hidup kita seturut yang dikehendaki Allah. Lewat perumpamaan mengenai pohon yang tidak menghasilkan buah, Yesus mengingatkan kita untuk memanfaatkan hidup kita untuk menghasilkan buah yang berkualitas. Kualitas hidup kita ini diukur dan dinilai dari semua yang kita buat dan hasilkan, yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh mereka yang berada di sekitar kita. Semuanya sudah kita miliki: waktu yang cukup, dasar yang kuat dan jelas. Yang diperlukan hanyalah kesediaan dan keseriusan kita dalam kaitannya dengan tugas panggilan tersebut.
Mengenai ini, dalam bacaan kedua, Santu Paulus mengajak kita untuk menjadikan kisah masa lalu para pendahulu kita sebagai contoh dan cermin hidup kita sekarang. Konsekuensi dari ketidakpatuhan mereka adalah kesulitan dan kematian, dan kita sudah pasti tidak ingin mengalaminya. Kesengsaraan, sudah pasti tak ingin kita alami. Bahkan kita berusaha sekuat tenaga untuk menghindari ini. Tiada jalan yang lebih baik untuk menghindari dan/atau menghadapi kesulitan hidup selain kesediaan untuk mengikuti apa yang diajarkan dan ditunjukkan oleh Tuhan. Seperti kata Santu Paulus dalam bacaan kedua, semua kita sadar dan tahu, bahwa hidup kita ini dibangun dan dihidupi di atas landasan yang sama, Kristus. Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana kita memanfaatkan dasar yang kokoh ini untuk memaknai hidup kita secara lebih berarti.
Memang tidaklah gampang, usaha kita untuk menghasilkan buah yang berlimpah dan berkualitas. Tantangan dan kesulitan datang silih berganti. Tapi ini tidak berarti bahwa kita sendirian. Allah memperhatikan semua yang kita hadapi. Lewat kehadiran dan bantuan dari mereka yang kita jumpai, kita bisa merasakan tangan kasih Allah yang membantu kita untuk menyelesaikan persoalan hidup kita. Pada saat yang sama, seperti Moses, kita dimintakan kesediaan untuk menjadi sumber pengharapan bagi sesama kita dan instrument yang membangkitkan harapan dan animo hidup mereka. Untuk itu, dibutuhkan satu hal sebagaimana dikatakan oleh bacaan Injil, jangan kita sia-siakan waktu yang ada untuk mengisinya dengan sesuatu yang positif demi menghasilkan buah yang berlimpah pada waktunya. Kesempatan yang kita miliki pun menjadi ajang untuk memperbaiki yang salah demi sebuah perjalanan yang lebih berkualitas ke depan.
Semoga masa Prapaska ini menjadi kesempatan untuk kita memperbaiki diri, memperbaharui hidup kita dan menjadikan diri kita sebagai instrument Allah bagi sesame, terlebih mereka yang membutuhkan kita.

Titik-titik refleksi
@ Dalam kesulitan, jangan takut atau gelisah atau goncang imanmu. Allah peduli dengan kita.
@ Allah membutuhkan kita untuk menjadi alatNya bagi orang lain. Maukah kita?
@ Dari buah yang kita hasilkan, kita akan dinilai. Jangan sia-siakan waktu yang ada.

Thursday, February 21, 2013

Minggu II Prapaskah: Mengalami Kebaikan dan Kebesaran Tuhan (Transfigurasi)


Semua kita tahu dan sadar makna sebenarnya dari masa Pra-paskah dalam kaitannya dengan kualitas iman dan kepribadian kita. Masa Pra-paskah merupakan sebuah kesempatan emas untuk memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, sesama dan juga diri kita sendiri yang rusak karena kesalahan kita sendiri, yang namakan dosa. Upaya untuk kembali dan memperbaiki relasi itu kita kenal dengan istilah, tobat. Tobat, hanya akan menjadi lebih berarti dalam hidup kita bila dimaknai lewat suatu cara hidup yang dibangun atas dasar iman yang kokoh akan Tuhan dan juga keinginan yang tulus untuk hidup berdampingan secara baik dengan sesama. 
Bacaan-bacaan yang diketengahkan bagi kita hari ini mengajak kita untuk membangun suatu landasan hidup yang kokoh sebagai umat Tuhan atas dasar keyakinan akan kebaikan dan kebesaran Tuhan bagi kita dan sekaligus mengajak kita untuk menghidupi iman itu dalam relasi hidup yang berkualitas.
Bacaan pertama menceritakan pengalaman Abraham akan kebaikan Allah kepadanya. Allah mengetengahkan segala yang telah dibuatNya bagi Abraham, membuktikan kebesaraNya dan lalu membuat perjanjian dengan Abraham untuk tetap mendampingi dan melindungi dia dan semua keturunannya.
Pengalaman iman akan kebaikan dan kebesaran Tuhan ini ditunjukkan juga dalam bacaan Injil hari ini lewat apa yang kita  dengan transfigurasi. Tiga murid diajak oleh Yesus untuk mendaki gunung dan di atas gunung itu, terjadilah transfigurasi. Peristiwa ini dengan sendirinya menegaskan identitas Yesus yang sebenarnya sebagai pemenuhan segala janji yang disampaikan oleh para Nabi dan juga penjelmaan hukum-hukum Allah lewat Nabi Musa. Peristiwa iman ini lalu menjadi dasar yang meneguhkan iman dan kepercayaan para murid akan Yesus dan sekaligus menegaskan tugas yang harus mereka emban mulai saat itu dan seterusnya: mendengarkan dan mengikuti Yesus. 
Pengalaman kita bersama Tuhan setiap hari, sudah pasti harus menjadi dasar pewartaan kita terutama lewat corak dan gaya hidup kita. Santo Paulus dalam bacaan II hari ini mengajak umat di Filipi untuk meniru dan mengikuti teladan mereka, mewartakan Sabda Tuhan lewat cara hidup yang benar. Paulus mengeritik mereka yang justeru menjadi musuh salib yang terungkap dalam kecenderungan hidup mereka yang egoistis dan memfokuskan diri hanya pada hal-hal negatif yang bersifat merusak. Untuk itu, Paulus mengajak kita untuk dengan berani dan tegas menghindari cara-cara hidup seperti ini, dan dengan setia memfokuskan diri pada Salib, sebagai simbol perlawanan kita akan segala yang bisa menjauhkan kita dari cinta Tuhan, sesama dan diri sendiri lewat praktek hidup yang benar sebagai anak-anak pilihan Tuhan.

Masa Prapaskah ini dengan sendirinya menjadi kesempatan untuk memperbaiki kualitas relasi kita dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri. Kesadaran akan minimnya atau rusaknya relasi itu harus membawa kita untuk mengubah diri, mengikuti ajakan `untuk mendengarkan Tuhan`serta menghidupinya secara nyata setiap hari. Pertobatan yang nyata adalah pertobatan yang memiliki efek bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi sesama yang tercermin dalam perilaku kita setiap hari. Kedamaian yang kita rasakan dalam hati, kebersamaan yang tercipta (dengan sesama) dengan sendirinya mendekatkan kita pada Tuhan. Dan pengalaman bersama dengan Tuhan akan membawa kita untuk semakin memperdalam iman kita akan Tuhan dan juga memperbaiki kualitas hidup dan relasi kita dengan sesama dan diri sendiri. 


Titik-titik refleksi:

1.   Setiap saat kita selalu diundang dan diberi kesempatan untuk menikmati kebaikan dan kebesaran Tuhan.
2.   Tugas kita adalah membagi pengalaman hidup kita bersama Tuhan lewat kesaksian hidup yang autentik.


Friday, February 15, 2013

Minggu I Pra-paskah 2013: Digoda dan Ditantang dalam Hidup...? Siapa Takut.....


Pengalaman hidup harian kita membuktikan bahwa hidup ini tidak gampang. semua kita sadari itu. Bahwa hidup ini penuh dengan tantangan, ini sudah menjadi bagian dari hidup. Namun bukan hanya itu. Selain tantangan dan kesulitan, kita juga menyadari sepenuhnya bahwa  hidup ini selalu menyediakan kepada kita kemungkinan dan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang. Dalam dinamika hidup yang penuh dengan tantangan dan kesempatan inilah, kita dituntun untuk bersikap dan dituntut untuk berani mengambil keputusan.  Siapa kita yang sebenarnya dan apa yang kita mau dalam hidup ini lewat keputusan yang selalu kita ambil dengan sendirinya mencerminkan apa yang kita namakan karakter. 
Untuk itulah, bacaan-bacaan yang disodorkan kepada kita pada minggu pertama masa puasa ini mengajak kita untuk melihat dengan cermat karakter  diri kita dalam  kaitannya dengan pilihan dan keputusan yang selalu kita buat. Di sini kita perlu berhati-hati. Karena, ketika kita dihadapkan dengan situasi nyata dan diberikan pilihan-pilihan yang masing-masingnya memiliki konsekuensi tersendiri, karakter diri kita menjadi taruhannya. Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk bercermin pada Yesus yang memilih apa yang terbaik meski itu harus bertentangan dengan arus dan kebiasaan umum. Yesus memilih untuk menolak tawaran yang bertentangan dengan prinsip dan misi yang sedang diembanNya.
Dalam usaha mengikuti apa yang ditunjukkan oleh Yesus, kita diminta untuk pertama-tama membangun hidup kita atas landasan iman yang kokoh. Pengakuan Iman yang teguh kepada Yesus, sebagaimana yang diketengahkan oleh Paulus dalam suratnya kepada umat di Roma dalam bacaan II hari ini, harus dihidupi secara konkret. Tantangan dan tawaran hidup yang kita hadapi setiap saat sering menuntut kita untuk segera mengambil keputusan. Ketepatan dalam memilihan itu hanya mungkin bisa dibuat, bila kita memiliki dasar yang kuat sebagai titik pijak yang jelas.
Mengenai dasar pijak ini, bacaan pertama dari Kitab Ulangan, mengisahkan tentang kebesaran kasih Allah kepada umat pilihanNya dalam segala situasi hidup mereka. Atas dasar kebaikan dan cinta Allah ini, umat diberi orientasi bagaimana mematangkan relasi mereka dalam hidup harian mereka dan terutama dalam ritual keagamaan. Yang ditekankan di sini adalah bukti kebaikan dan kebesaran Allah yang menjadi landasan untuk kehidupan mereka selanjutnya. 
Dengan kata lain, lewat relasi yang baik dengan Tuhan, kita sanggup membangun dasar iman yang kokoh dan dengan sadar dan leluasa memilih yang terbaik, bukan hanya untuk diri kita, namun juga untuk sesama dan demi kemuliaan Tuhan ketika dihadapkan dengan sekian banyak kemungkinan dan tawaran. Dengan panduan ini, kita lalu melihat semua kenyataan hidup kita, tantangan dan kesulitan hidup setiap hari sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya (karakter diri kita). Semoga amal dan doa kita di masa puasa ini menjadi lebih bermakna lagi lewat usaha mempertahankan karakter diri kita sebagai anak-anak Allah

Titik-titik refleksi:
1.   Dasar pijak kehidupan kita: pengalaman dengan Allah
2.   Pilihan dan keputusan yang kita buat mencerminkan karakter diri kita yang sebenarnya
3.   Bijaksanalah dalam berpikir:  “Be careful of your thoughts, for your thoughts become your words. Be careful of your words, for your words become your actions. Be careful of your actions, for your actions become your habits. Be careful of your habits, for your habits become your character. Be careful of your character, for your character becomes your destiny.”

Thursday, February 7, 2013

MInggu Biasa V: Dipanggil untuk Berbagi


Memasuki minggu terakhir masa biasa (Pekan V) sebelum memulai masa Pra-Paska, bacaan-bacaan suci yang kita dengar terus mengajak kita untuk berefleksi tentang peran aktif kita sebagai missionaris dalam konteks hidup bersama. Tugas dan peran kita sebagai ´penjala manusia´ sebagaimana dikatakan Yesus dalam bacaan injil hari ini menyadarkan kita tentang pentingnya kesaksian hidup kita dalam kehidupan bersama, untuk mendekatkan ´Tuhan pada sesama´ dan juga membawa dan mendekatkan sesama kepada Tuhan. Bacaan-bacaan suci ini mengetengahkan kepada kita beberapa pemikiran dasar tentang bagaimana menjalankan dan menghidupi tugas missioner itu.
Pengalaman Yesaya dalam bacaan Pertama menggariskan tentang pentingnya pengalaman kedekatan kita dengan Tuhan sebagai dasar pijak pewartaan kita setiap hari. Dibutuhkan kerelaan, kesediaan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, menjadi alatNya untuk membagikan apa yang kita alami sendiri, seperti Yesaya dalam bacaan, kepada sesama kita. Kita harus bersedia membagi apa yang kita miliki, pengalaman kita bersama Tuhan, kepada sesama kita. 
Mengenai ini, pengalaman Petrus dan kawan-kawan dalam bacaan Injil juga menjelaskan lebih lanjut tentang dasar acuan tugas kita itu: kesediaan untuk melaksanakan apa yang diminta oleh Tuhan. Dengan kata lain, kepatuhan pada Tuhan harus menjadi dasar segalanya. Kita punya talenta, pengalaman, pengetahuan dan lain sebagainya, namun itu tidaklah cukup untuk bisa menjadi seorang yang sukses. Kepatuhan pada Tuhan, mendengarkan apa yang dikatakan kepada kita dalam perjumpaan yang intim, perlu menjadi sumber inspirasi kita untuk terus bekerja tanpa harus mengeluh apalagi menolak. Yesus hanya meminta kepada Petrus untuk bertolak lebih ke dalam, menantangnya untuk berani menghadapi segala kemungkinan tanpa rasa takut. Kita harus berani mengalahkan ego kita sendiri dan bersedia bekerja sama denganNya, mengalahkan rasa takut, bimbang, ragu, malas dan lelah kita. Di sini, kepatuhan pada permintaan Tuhan berarti membiarkan Tuhan menjadi petunjuk dan kompas arah hidup kita sehingga tugas kita menjadi ringan dan hasil yang kita harapkan pun berlimpah ruah. Selama kita membiarkan Tuhan menjadi lampu penerang hidup kita, hasil usaha kita sebagai missionaris pun akan berlipat ganda. Dibutuhkan kepatuhan dan kesediaan untuk bekerja lebih daripada yang biasa.
Di sinilah, Santu Paulus sekali lagi mengajak kita lewat suratnya yang pertama kepada umat di Korintus, untuk melihat betapa kaya dasar dan pengalaman iman akan Tuhan yang menjadi dasar pewartaan seorang missionaris. Kebangkitan Tuhan dan pengalaman akan kebangkitanNya menjadi dasar pewartaan bagi para murid. Dan bagi Paulus, meski tak mengalami itu sendiri, Ia bersedia melanjutkan karya perwartan itu karena ia percaya dan lebih dari itu, ia percaya karena dimampukan oleh rahmat Tuhan.
Semoga dengan rahmat Tuhan, kita dimampukan untuk bersedia mengemban tugas pewartaan kita sebagai missionaris Tuhan, membagikan pengalaman kita yang indah bersamaNya kepada sesama lewat sebuah cara hidup yang benar yang didasarkan pada apa yang ditunjukkan dan diperintahkan Tuhan kepada kita tanpa ragu dan takut.

Titik-titik refleksi: Tugas utama seorang missionaris
1.       Membagi pengalaman kita dengan Tuhan kepada sesama. Kita tak mungkin membagi apa yang tak kita miliki.
2.       Mengizinkan Tuhan untuk tetap menjadi Tuhan dalam hidup kita. Patuh dan bersedia mendengarkan apa yang dikatakanNya. He is the master. Dia tahu yang terbaik buat kita.
3.       Contoh hidup kita, bukti kedekatan kita dengan Tuhan menjadi alat ampuh pewartaan kita sebagai penjala manusia seperti yang diinginkan Tuhan.

Thursday, January 31, 2013

MInggu Biasa IV: Ditantang untuk Menghidupi Kasih dalam Kebersamaan


Dalam dua minggu terakhir, bacaan-bacaan suci mengetengahkan tentang indahnya kehidupan bersama. Pekan ini, bacaan yang disuguhkan untuk refleksi kita mengetengahkan tantangan yang harus dihadapi oleh para abdi Tuhan dalam kehidupan bersama. Penginjil Lukas dalam bacaan Injil mengisahkan kepada kita, penolakan terhadap Yesus dan alasan mengapa Ia ditolak. Kekaguman dan ketertarikan akan pesona Yesus berubah menjadi penolakan hanya karena mereka mengenal asal muasalNya (keluargaNya) dan karena ketegasanNya untuk mengatakan kebenaran, mengeritik secara langsung kepicikan mereka. Dia ditolak lantaran dia bukan berasal dari kalangan elit, bukan dari kalangan berada. Kepicikan mereka dalam berpikir semakin ditelanjangi oleh Yesus ketika Ia mengungkapkan fakta sejarah di masa lalu, sekalian sebagai peringatan buat mereka, ‘keselamatan itu akan terjadi hanya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, mereka yang berserah total kepada Allah.’
Penolakan terhadap Yesus sudah pasti merupakan sebuah peringatan kepada kita pengikutNya. Usaha untuk menghidupi panggilan kita secara total dan serius sudah pasti akan dan sering menemui rintangan. Pengalaman harian kita sudah pasti berbicara banyak. Sering kali orang (bahkan kita sendiri) lebih melihat siapa yang berbicara dan bukannya apa yang dibicarakan. Lantaran yang berbicara bukanlah siapa-siapa, apa yang dikatakan itu dengan sendirinya diabaikan dan dilupakan. Dihadapkan dengan situasi ini, Yesus memberi contoh nyata untuk tidak diam dan menyerah. Inilah tugas kita. Ini panggilan kita. Beresiko, sudah pasti. Bila kita berhenti, maka kesalahan akan tetap dianggap benar dan kebenaran disingkirkan dan akibatnya, semua kita sudah tahu, penderitaan yang berkepanjangan, serta konflik yang tiada ujung.
Menghadapi ini, kita diingatkan oleh Nabi Yeremias dalam bacaan pertama mengenai jati diri dan kekhususan kita di mata Tuhan yang perlu menjadi dasar pijak  dan kekuatan untuk kita. Kita dipanggil dan dipilih olehNya secara khusus untuk menjalankan tugas yang mulia: mewartakan kebenaran lewat cara hidup yang benar sekaligus memperkenalkan jalan dan keadilanNya kepada sesama. Karena itu, kita diingatkan bahwa kita tak mungkin bekerja sendirian. Ia selalu besama kita. Yang perlu kita lakukan adalah menjalankan apa yang menjadi tugas utama kita, menjadi penyebar kasih. Untuk ini, surat Pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus menjadi pegangan kita. Dalam segala yang kita buat, katakan dan hidupi, kasih harus menjadi faktor penentunya. Dengan dan dalam kasih, semuanya menjadi sempurna dan kehidupan bersama menjadi semakin mapan dan tenang. Inilah jalan kepada kesempurnaan dan dengan tanda inilah kita semua dikenal sebagai pengikut Kristus.
Titik-titik refleksi:
1.    Tantangan, ini bagian dari hidup. Perlu dihadapi dengan tenang dan penuh keyakinan, Tuhan ada bersama kita.
2.    Merasa ditolak karena mempertahankan dan menunjukkan yang benar, tidak harus membuat kita diam dan berhenti bermisi. DIA sendiri pernah ditolak. (Murid tak lebih besar dari sang guru)
3.    Kasih, jadikanlah ini sebagai jiwa dan inspirasi hidup. Kita dikenal sebagai muridNya, lewat kasih sejati yang kita hidupi dan bagikan pada sesama. 

Saturday, January 26, 2013

Minggu Biasa Ke-3: Bermisi dalam Kebersamaan



Hari ini kita memasuki pekan ketiga dalam Masa Biasa. Bacaan-bacaan suci pada Hari Minggu Biasa ketiga ini meminta kita untuk menjadi seorang missionaris di tengah kebersamaan. Dengan kata lain, kehidupan bersama kita sudah pasti merupakan moment dan ajang untuk bermisi. 
Bacaan I dari Kitab Nabi Nehemia, mengisahkan kegembiraan dan kebahagiaan masyarakat di saat mendengarkan titah Tuhan setelah dibacakan oleh sang nabi. Sabda Tuhan menjadi sumber dan alasan kegembiraan mereka.
Dalam bacaan Injil, lewat afirmasi Yesus sendiri, kita disodorkan dengan satu kenyataan yang sudah pasti membuat kita bahagia. Sabda itu telah ada di tengah-tengah kita. Bila dalam masa para Nabi, Sabda dan Titah Tuhan disampaikan lewat para utusanNya, Yesus menegaskan hari ini kepada kita, bahwa janji dan titah Tuhan itu telah dipenuhi  dan Ia ada dan berkarya di tengah kita. 
Benar. Ia hadir di antara kita dan Ia telah menjadi satu dengan kita. Yang Dia perlukan dari kita hanyalah satu, kemauan untuk menjadi satu denganNya dan kesediaan untuk mengikutiNya. Ajakan dalam bacaan pertama dan juga yang tersirat dalam bacaan kedua, menuntun kita untuk merayakan kehadiranNya di antara kita dan menjadikan hari-hari hidup kita sebagai sesuatu yang sakral.
Menjawabi ajakan Tuhan ini, bacaan kedua, dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus, mengingatkan kita bahwa peran kita dalam kehidupan bersama sangatlah penting. Sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan bersama, semua yang kita buat, alami dan rasa turut pula dirasakan oleh anggota yang lain. Karena itu, sebagai satu tubuh, kita diingatkan untuk senantiasa berusaha agar keutuhan itu terjaga dan kesehatan bersama terjamin. Dengan ini, peran aktif masing-masing anggota menjadi sangatlah penting. Solidaritas yang kita tunjukkan dan juga kesediaan untuk mengenyampingkan semua bentuk egoisme merupakan cara-cara praktis agar keutuhan dan kebersamaan tetap terjamin.
Semoga pekan yang dimulai hari ini, membawa kita untuk semakin menyadari kehadiran Tuhan di antara kita. Dia adalah kepala, penunjuk jalan bagi kita. Kita semua, sebagai satu saudara mengikutiNya sambil merayakan bersama rahmat kehadiranNya di antara kita dan bersama kita menikmati hidup ini hingga apa adanya.

Titik-titik refleksi:
1.       Tuhan selalu hadir di antara kita. Let’s celebrate….
2.       Kita semua adalah satu, jaga kebersamaan ini…..
3.       Ingin hidup bahagia? Make others happy first..... 

Saturday, January 19, 2013

Pekan Biasa II: Menjadi Seperti Maria


Dengan Pesta Pembabtian Yesus yang kita rayakan minggu lalu, dengan sendirinya kita mengakhiri Masa Natal dan sekaligus mengawali Masa Biasa dalam kalender liturgi gereja kita. Hari ini kita memasuki Pekan kedua dalam masa biasa. Memaknai pekan ini, bacaan-bacaan suci hari ini mengarahkan kita untuk berefleksi tentang janji Tuhan kepada umatNya dan bagaimana cara Tuhan memenuhi janji itu.
Bacaan I, lewat suara Nabi Yesaya, Allah membesarkan hati umatNya dengan mengatakan janjiNya untuk tidak akan pernah meninggalkan mereka. Dengan bahasa yang sangat simbolis, Allah mengingatkan umatNya, betapa mereka itu sangat khusus di hadapanNya, dan segala yang dibuatNya nanti hanya untuk mereka, umat kesayanganNya.
Bacaan II dari Surat II Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, kita semua diingatkan, bahwa sebagai umat Allah, semua kita hidup dalam kebersamaan yang erat. Kebersamaan itu kita jalin dan kita jaga lewat kesediaan setiap anggota untuk menggunakan semua potensi dan kreasi kita (yang merupakan rahmat dari Tuhan untuk kita) demi menjamin kebaikan bersama. Keragaman karya dan kreasi yang kita miliki, harus dimanfaatkan sebagai sebuah realita yang memperkaya dan mempererat dan bukannya memisahkan.....
Bacaan Injil hari ini, dalam Kisah Mujizad Pertama di Kanaan, kita diajak dan dilatih oleh Maria untuk menjadi alat Allah dalam beberapa pengertian.  Pertama, kita harus menjadi alat untuk menyelesaikan persoalan dan kesulitan orang lain. Untuk ini dibutuhkan kepekaan terhadap situasi mereka. Kepekaan yang membawa kita pada usaha untuk membantu. Kedua, Kita diajak untuk mendekatkan diri kepada DIA, sumber segala kebaikan, untuk menyelesaikan segala perkara dan kesulitan hidup kita. Serahkan kepada Dia  dan yang pasti, di saat yang tepat, Dia akan beraksi. Untuk ini, dibutuhkan iman yang teguh akan Tuhan, dan kesabaran untuk menanti saat yang tepat menurut perhitunganNYa. Ketiga, Maria mendidik kita untuk bisa menjadi alat yang mempersiapkan orang lain, untuk menjalani dan melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki dari mereka. Kita diajar untuk membagikan pengalaman iman kita dan memberikan kesaksian tentang segala karya Tuhan serta mempersiapkan orang lain untuk melaksanakan dan menghidupi apa yang Tuhan minta dari mereka.
Menapaki hidup harian kita, dalam pekan ini, marilah kita bekerja untuk kebaikan bersama, menggunakan semua yang sudah kita terima dari Tuhan, karena untuk inilah kita semua dipanggil. Allah sudah memenuhi semua yang dijanjikan sebagaimana dikatakan dalam bacaan Pertama, dan kini kita diingatkan untuk meneruskan dan melaksanakan apa yang menjadi tugas kita. Untuk ini, figure Maria menjadi contoh untuk kita.
Point-point refleksi untuk pekan ini:
1.  Jadilah alat untuk membantu menyelesaikan persoalan hidup bersama dan bukan sebaliknya. 
2. Jadilah contoh orang beriman, yang berserah kepada Tuhan dalam segala situasi dan dengan sabar menanti jawaban pastiNya. 
3. Jadilah seorang yang bersedia berbagi pengalaman iman dengan sesama dan pada saat yang sama, bersedia untuk mempersiapkan mereka agar melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki dari mereka.